Lemahnya Pabrik di Asia Mengambil Keuntungan dari Kebangkitan Tiongkok
Aktivitas pabrik di banyak negara Asia melemah pada bulan Maret meskipun terjadi pemulihan di Tiongkok karena lesunya permintaan domestik yang menyeret pertumbuhan, menurut survei yang dilakukan pada hari Senin, sehingga mengaburkan prospek perekonomian global yang tadinya berkembang pesat.
Negara-negara penghasil ekspor, Jepang dan Korea Selatan, mengalami penyusutan aktivitas manufaktur, demikian pula Taiwan, Malaysia, dan Vietnam yang menunjukkan lemahnya perekonomian kawasan.
Aktivitas pabrik di banyak negara Asia melemah pada bulan Maret meskipun terjadi pemulihan di Tiongkok karena lesunya permintaan domestik yang menyeret pertumbuhan, menurut survei yang dilakukan pada hari Senin, sehingga mengaburkan prospek perekonomian global yang tadinya berkembang pesat.
Negara-negara penghasil ekspor, Jepang dan Korea Selatan, mengalami penyusutan aktivitas manufaktur, demikian pula Taiwan, Malaysia, dan Vietnam yang menunjukkan lemahnya perekonomian kawasan.
Namun, pelemahan di negara-negara lain di Asia menyoroti tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan di kawasan ini ketika mereka bergulat dengan tanda-tanda pemulihan permintaan global yang tidak merata dan ketidakpastian mengenai kapan Bank Sentral AS (Federal Reserve) akan mulai menurunkan suku bunganya.
“Ekspor Tiongkok sedikit meningkat, tapi itu karena harga barang-barang mereka murah. Itu berarti negara-negara Asia lainnya harus bersaing dengan Tiongkok untuk mendapatkan permintaan yang tidak meningkat,” kata Toru Nishihama, kepala ekonom pasar berkembang di Dai-ichi Life Research Institute. di Tiongkok, yang sedang berjuang untuk mencapai kebangkitan ekonomi yang kuat yang sebagian disebabkan oleh krisis properti yang berkepanjangan, memberikan sedikit kelegaan bagi Beijing dan investor secara global.
“Tanpa adanya pendorong pertumbuhan global yang jelas, sulit untuk memberikan prospek yang cerah bagi Asia,” tambahnya.
PMI final au Jibun Bank Jepang berada di angka 48,2 pada bulan Maret, level tertinggi sejak November dan pulih dari angka 47,2 pada bulan Februari yang menandai laju kontraksi tercepat dalam lebih dari 3,5 tahun.
Namun aktivitas mengalami kontraksi selama 10 bulan berturut-turut karena merosotnya pesanan ekspor baru, yang mencerminkan memburuknya sentimen di pasar-pasar utama seperti Tiongkok dan Amerika Utara, menurut survei tersebut.
Aktivitas manufaktur Korea Selatan juga melemah di bulan Maret karena melambatnya permintaan dalam negeri mengimbangi kuatnya penjualan luar negeri dengan PMI turun menjadi 49,8 di bulan Maret dari 50,7 di bulan Februari.
PMI Taiwan turun menjadi 49,3 pada bulan Maret dari 48,6 pada bulan Februari, sedangkan PMI Vietnam turun menjadi 49,9 dari 50,4, dan Malaysia turun menjadi 48,4 dari 49,5, menurut survei.
Sebaliknya, aktivitas manufaktur meningkat pada bulan Maret di Filipina dan Indonesia, menurut survei.
Dalam revisi perkiraan yang dikeluarkan pada bulan Januari, IMF memproyeksikan perekonomian Asia akan tumbuh sebesar 4,5% tahun ini, didorong oleh kuatnya permintaan AS dan dorongan dari langkah-langkah stimulus yang diharapkan di Tiongkok.
Namun dikatakan bahwa pemulihan akan berbeda antar negara, dimana Jepang kemungkinan akan mengalami pertumbuhan yang lambat hingga 0,9%, berbeda dengan ekspektasi ekspansi sebesar 6,5% di India. IMF memperkirakan perekonomian Tiongkok akan tumbuh 4,6% tahun ini, melambat dari 5,2% pada tahun 2023.